Kamis, 02 Juli 2009

hubungan kausalitas plitik dan hukum

KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER POLITIK HUKUM
ARIA HERJON, SH
Hubungan Kausalitas antara Hukum dan Politik
Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum
Politik determinan atas hukum ,kerena hukum merupakan hasil atau kristalisasi saling bersaing.
Politik dalam hukum subsistem ke masyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasi seimbang antara satu dengan yang lain,karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
untk mendownload klik disini
Mana yang lebih determinan ?
Hukum dipandang dari sudut das sollen (keharusas) = hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antara anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik.
Hukum dipandang dari sudut das sein (kenyataan) = bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, baik dlm pembuatannya maupun kenyataan empirisnya.
Keg legislatif membuat UU  lebih banyak lagi membuat keputusan politik dari pada menjalan pekerjaan hukum dilihat dari prosedur.
Leg lebih dengan politik dari dengan hukum itu sendiri
Konfigurasi Politik tertentu akan melahirkan karakter Produk Hukum tertentu pula

Konfigurasi Politik dan Produk Hukum
Konfigurasi politik di pecah menjadi variable politik demokrasi dan variable politik otoriter
sedangkan produk hukum di bedakan atas produk hukum yang berkarakter responsive dan produk hukum yang berkarakter konserpatif atau ortodok .
indikator untuk menilai bahwa suatu bangsa itu demokrasi atau otoriter indicator yang di gunakan adalah
Peranan lembaga perwakilan rakyat
Peran pers
Peranan eksekutif
Sedangkan untuk menilai produk hukum indicator yang digunakan adalah.
Proses pembuatannya
Pemberian fungsinya
Peluang penafsirannya.

Konfigurasi politik dapat diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik dalam suatu negara
Konfigurasi politik terbagi dua, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Pada konfigurasi demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat.
Pada konfigurasi politik otoriter yang terjadi adalah sebaliknya, yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam Penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proposional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan parpol tidak befungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak memeiliki kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah dan bayang-bayang pembredelan.

Masing-masing kedua Konfigurasi Politik tersebut akan melahirkan karakter produk hukum tertentu terutama PH dibidang kekausaan (PH Pemilu, Pemda dan sbgnya)
KP yang demokratis akan melahirkan PH yang responsif/otonom
KP yang otoritier akan melahirkan PH yang konservatif/ortodok


Karakter Produk Hukum Responsif (Populistik), adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Produk Hukum Konservatif / Ortodoks / Elitis, adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil
KP dan KPH indonesia dari periode ke Periode
Periode Demokrasi Liberal
Periode Demokrasi terpimpin
Periode Orde Baru
Periode Reformasi
KP dan PH periode Demokrasi LIberal
Penelusuran KP Periode DL dimulai dari akhir pendudukan Jepang di Indonesia (pembentukan Jepang dan Pembentukan Rancangan UUD dan Persiapan Badan Kemerdekaan)
Panitia UUD
7 Sep 1944 berjanji memberi kemerdekaan kepada Indonesia yang diulangi lagi pada tanggal 1 Maret 1945
Dibentuk BPUPKI  berjumlah 62 orang  Ketua : Radjiman Wediodiningrat = “comiite og 62”  tugas : membuat rancangan UUD.
Badan ini terbagi 2: yaitu Gol Nasionalis sekuler dan Gol Nasionalis Islam.
Memperdebatkan dasar negara oleh Panitia 9  piagam jakarta  diterima dlam sidang BPUPKI 11 Juli 1945
Panitia kecil  diketuai oleh Soepomo membuat rancangan UUD
Hasil kerja BPUPKI diserahkan kepada PPKI  dibetuk pasda tanggal 7 Agustus 1945


Pengesahan dan Batanh Tubuh UUD
Tgl 15 Agustus jepang menyerah kepada sekutu
Usaha memerdekan Indonesia menjadi tanggungjawab pemimpin Indonesia
Tgl 17 Agustus 1945 Soekerno-Hatta menyatakan kemerdekaan
18 Agustus 1945 = menetapkan berlakunya UUD 1945


Periode 1945=1959
KP yang tampil adalah KP Demokratis
Cirinya demokrasi liberal
Periode Demokrasi Liberal 1945-1959
konfigurasi politik bersifat demokratis
Indikasinya adalah:
BPUPKI dan PPKI tidak memperdebatkan untuk bersepakat memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara sbg telah dituangkan dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945.
setelah berlangsungnya kemerdekaan selama lebih kurang tiga bulan, muncul gerakan parlementerisme yang menginginkan sistem pemerintahan negara diganti dari system yang lebih cenderung pada presidential menjadi parlementer.
Dengan alasan bahwa ketidaksetujuan terhadap peletakan kekuasaan di tangan Presiden (Soekarno)

Pemerintah melalui usulan tersebut dengan mengeluarkan Maklumat No.X Tahun 1945, yang berisi pengalihan fungsi legislatif kepada KNIP dan pembentukan BP KNIP. Maklumat tersebut diikuti pula dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang susunan kabinet berdasarkan system parlementer atas usul BP KNIP.
Maklumat pemerintah ini menggeser konfigurasi politik Indonesia ke arah yang lebih liberal-demokratis, sebab dengan system parlementer ini pemerintah harus bertanggungjawab kepada parlemen yang ketika itu dilakukan oleh KNIP.
Dari sini terlihat bahwa dari masa pertama pemberlakuan UUD 1945, telah terjadi kekuasaan yang luas bagi eksekutif, sehingga mendapat protes dari berbagai kalangan.

Dibawah Konstitusi RIS 1949, Konfigurasi politik terlihat demokratis, selain dari system pemerintahan yang parlementer, juga dapat dilihat dari pengertian federalisme itu sendiri yang dalam mekanisme hubungan antara pusat dan daerah (negara bagian) meletakkan pemerintah pusat dan pemerintah negara-negara bagian dalam susunan yang sederajat.
Periode Demokrasi Liberal 1945-1959
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Negara Republik Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan UUDS 1950 sebagai konstitusi tertulisnya.
Dengan demikian Indonesia menganut system demokrasi parlementer penuh, baik dalam arti pemberian dasar dalam konstitusi maupun praktek ketatanegaraannya
Secara praktis konfigurasi liberal-demokratis ini ditandai oleh dominannya parlemen dalam spectrum politik

Pemerintah melalui usulan tersebut dengan mengeluarkan Maklumat No.X Tahun 1945, yang berisi pengalihan fungsi legislatif kepada KNIP dan pembentukan BP KNIP.
Maklumat tersebut diikuti pula dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang susunan kabinet berdasarkan system parlementer atas usul BP KNIP.
Maklumat pemerintah ini menggeser konfigurasi politik Indonesia ke arah yang lebih liberal-demokratis, sebab dengan system parlementer ini pemerintah harus bertanggungjawab kepada parlemen yang ketika itu dilakukan oleh KNIP.
Produk Hukum
Selanjutnya apabila dilihat karakter produk hokum yang dihasilkan pada periode demokrasi liberal (1945-1959), bersifat responsive/populistik.
Sebagaimana halnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 yang mengatur tentang pemilihan Umum.
Undang-undang tersebut dapat mengatur secara rinci sistem Pemilu dan pokok-pokok prosesnya, sehingga tidak memberi ruang yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menafsirkan sendiri dengan peraturan perundang-undangan delegatif.
Proses lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 itu didorong oleh kehendak rakyat dan dibahas secara fair dalam badan perwakilan rakyat,
adanya partisipasi masyarakat sehingga materi muatan undang-undang tersebut juga mencerminkan keberpihakan kepada rakyat secara keseluruhan.

Demikian juga halnya dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang pada periode ini juga masih bersifat responsif, yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah undang-undang tentang desentralisasi, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Ini menunjukan adanya hasrat dari pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah, dengan menjadikan desa sebagai letak titik berat otonominya.

Terjadinya pergulatan melawan Belanda, maka pemerintah mengalami kesulitan dalam menerapkan UU No.22 Tahun 1948 tersebut, serta ketimpangan-ketimpangan yang juga masih ditemui dalam pelaksanaannya. Dengan adanya masukan-masukan dari berbagai pihak dan demi pelaksanaan ide demokrasi, maka keluarlah UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Dari undang-undang ini terlihat keinginan pemerintah untuk menerapkan otonomi yang seluas-luasnya, dengan pengertian bahwa daerah leluasa untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa ada campur tangan dari pusat, demikian juga halnya dengan pemilihan Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakya

Demikian juga halnya dengan ketentuan hukum mengenai agraria, yang pada masa periode demokrasi liberal setelah peninggalan zaman kolonial Belanda dilakukan pembaharuan mengenai pertanahan.
Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 tentang penghapusan hak konversi yang bersumber pada paham feodalisme, kemudian dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950.
Selanjutnya juga berbagai peraturan perundang-undangan secara parsial dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal penataan terhadap pertanahan,
di sini terlihat bahwa pemerintah secara sungguh-sungguh dan berupaya untuk menciptakan hukum agraria yang responsif dan sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
Meskipun belum ada hukum agraria nasional yang komprehensif, tetapi dari produk-produknya yang parsial itu dapat dilihat bahwa hokum agraria pada periode demokrasi liberal berkarakter sangat responsif. Hal ini dapat dilihat dari respon pemerintah pada aspirasi seluruh masyarakat Indonesia yang menuntut secara keras dibentuknya UU Agraria Nasional.
PERIODE DEMOKRASI TERPIMPIN
Dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka berakhirlah langgam system politik liberal dan digantikan oleh system demokrasi yang menurut Soekarno lebih berwarna Indonesia, yakni demokrasi terpimpin, yang seklaigus melahirkan konfigurasi politik baru yang lebih bersifat otoriter.
Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin ditandai oleh tarik tambang antara tiga kekuatan politik utama, yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI),
Di antara ketiganya sekaligus saling memanfaatkan.
Soekarno memerlukan PKI untuk menghadapi kekuatan Angkatan Darat yang gigih menyainginya,
PKI memerlukan Soekarno untuk mendapatkan perlindungan dari presiden dalam melawan Angkatan Darat,
sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik.

Selanjutnya krisis politik terjadi yang disusul oleh terjadinya G30S/PKI, membawa Soekarno untuk mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tahun 1966 yang berisi pelimpahan kekuasaan kepad Soeharto, untuk mengambil segala tindakan yang berhubungan dengan keamanan dan stabilitas pemerintahan, serta pemerintahan selanjutnya diambil alih oleh Soeharto menggantikan Soekarno pada Tahun 1967
Karakter Produk Hukum
karakter produk hokum yang dihasilkan pada masa demokrasi terpimpin adalah berkarakter ortodoks/konservatif.
Pada periode ini undang-undang tentang Pemilu tidak pernah dibuat, karena Pemilu belum pernah dilaksanakan.
Sedangkan ketentuan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959, yang memberi jalan bagi semakin ketatnya pengendalian pusat terhadap daerah. Kepala Daerah diangkat oleh pusat, tanpa harus terikat dengan calon-calon yang diajukan oleh DPRD

Selanjutnya Penpres Nomor 6 Tahun 1959 digantikan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yangmana isinya juga hampir sama dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Sebab secara keseluruhan lebih memberikan posisi dominan kepada pusat untuk mengendalikan pemerintahan di daerah.
Kontrol pusat terhadap daerah dilakukan melalui mekanisme kontrol yang ketat atas pembuatan peraturan-peraturan oleh daerah.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, dalam proses pembuatannya sama sekali tidak partsipatif, yang menonjol di sini justru penuangan visi sosial dan politik presiden sehingga produk hukum lebih merupakan instrumen bagi upaya realisasi visi presiden.

Selanjutnya karakter produk hukum tentang agraria pada masa demokrasi liberal, yang mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960.
UUPA merupakan produk hukum yang responsif, karena di dalamnya memiliki muatan hukum adat dan fungsi sosial atas tanah, tradisi hokum adat menganut strategi pembangunan hukum yang responsif, karena memperhatikan kondisi dan kehendak masyarakat.

UUPA yang dikualifikasikan sebagai produk hukum yang berkarakter responsive, dgn alasan:
Materi UUPA sebenarnya merupakan warisan periode sebelumnya yang bahan-bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk tahun 1948.
Materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme Belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka
Materi hukum agraria (UUPA) tidak menyangkut hubungan kekuasaan, sehingga rezim otoriter tidak akan merasa terganggu oleh materi-materi UUPA.
Hukum agraria nasional yang diatur di dalam UUPA itu memiliki dua aspek atau bidang hukum, yaitu bidang hokum publik (hukum administrasi negara) dan bidang hukum privat (hukum perdata).

PERIODE ORDE BARU 1966-1998
Orde Baru dimulai sejak tanggal 12 Maret1966 bersamaan dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), sehari setelah keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Pemerintah Orde Baru bertekad untuk mengoreksi penyimpangan politik yang terjadi pada era Orde Lama, dengan memulihkan tertib politik berdasarkan Pancasila sekaligus meletakkan program rehabilitasi dan konsolidasi ekonomi.
Pada awal eksistensinya, Orde Baru memberi bobot yang lebih besar terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka pembangunan nasionalnya.

Bagi negara-negara yang sedang membangun dan mengutamakan pertumbuhan ekonomi secara sadar akan diikuti dengan pembatasan atau pengekangan kehidupan politik yang demokratis.
Awal pemerintahan Orde Baru tidak pernah menjanjikan demokrasi dan kebebasan di masa depan. Meskipun demikian pada awalnya juga masih ada kebebasan bagi parpol maupun media massa untuk melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat.

Orba menolak gagasan demokrasi liberal karena dicap sebagai gagasan yang bertentangan dengan demokrasi Pancasila dan karenanya.
Langgam system politik bergeser ke arah yang otoritarian
Hasil pemilu tahun 1971 yang memberikan 62,8% kursi DPR kepada Golkar semakin memberi jalan bagi tampilnya eksekutif yang kuat.
Golkar bersama ABRI kemudian menjadikan tumpuan utama pemerintah untuk mendominasi semua proses politik.

Pada masa Orde Baru eksistensi parpol dan lembaga perwakilan berada dalam kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh kontrol dan penetrasi birokrasi yang sangat kuat.
Posisi eksekutif sangat kuat, dapat mengatasi semua kekuatan yang ada di dalam masyarakat, sehingga kontestasi dan partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan di luar birokrasi sangat lemah.
Kehidupan pers dibayangi oleh ancaman pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sehingga pers tidak mempunyai kebebasan yang sungguh-sungguh untuk mengekspresikan temuan, sikapdan pandangannya.
Dengan demikian konfigurasi politik Orde Baru, berdasarkan kriteria bekerjanya pilar-pilar demokrasi, adalah konfigurasi yang tidak demokratis atau cenderung otoriter.

Apabila dilihat dari karakter produk hukum pada era Orde Baru, sebagaimana halnya ketentuan hokum tentang Pemilu dapat dikualifikasikan sebagai produk hokum yang berkarakter ortodoks/elitis/konservatif.
Hal ini dituangkan dalam dua buah undang-undang, yaitu UU Nomor 15 Tahun 1969 dan UU Nomor 16 Tahun 1969 masing-masing tentang Pemilu dan tentang Susduk MPR/DPR/DPRD.
Dalam undang-undang tersebut mereka yang diangkat adalah mewakili visi politik pemerintah, pengangkatan yang langsung berlaku untuk sejumlah kursi tertentu.

Parpol tidak diberi peranan yang riil dalam organisasi penyelenggaraan Pemilu, karena ketua panitia di setiap tingkatan diduduki oleh pejabat atau pimpinan birokrasi, sementara peranan parpol di dalamnya hanya bersifat parsial.
Secara keseluruhan mekanisme penyelenggaraan pemilu mengandung kelemahan dalam system kontrol dan dalam rantai-rantai perhitungan suara.
Kontrol pemerintah atas anggota lembaga perwakilan hasil pemilu dapat juga dilakukan melalui recall atau penarikan kembali seseorang dari keanggotaan lembaga perwakilan/ permusyawaratan.
Di sini jelas bahwa undang-undang tentang pemilu tersebut cenderung berkarakter konservatif/ ortodoks.

Selanjutnya ketentuan hokum mengenai Pemerintahan Daerah pada zaman orde baru dituangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Pengangkatan kepala daerah adalah hak prerogatif presiden, dengan pengertian bahwa presiden tidak terikat dengan peringkat suara dukungan DPRD masing-masing, artinya yang mendapat suara terbanyak tidak mesti harus diangkat, tergantung kepada presiden.

Kepala Daerah merupakan penguasa tunggal di bidang pemerintahan di daerah, system kontrol dilakukan dengan pengawasan preventif, pengawasan represif dan pengawasan umum.
Pengawasan preventif berkaitan dengan keharusan pengesahan Perda dan Keputusan Kepala Daerah,
pengawasan represif berkenaan dengan kewenangan penangguhan dan pembatasan perda, dan
pengawasan umum adalah pengawasan terhadap segala kegiatan yang dapat menjamin terselenggaranya pemerintahan di daerah, yang berupa pemeriksaan dan penyelidikan.

Dengan demikian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang berlaku pada era Orde Baru tersebut memperlihatkan watak konservatif, yang dapat dicirikan dari penggunaan asas otonomi nyata dan bertanggungjawab sebagai pengganti asas otonomi yang seluas-luasnya.
Hal ini memang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah, pemerintah senantiasa memaksakan kehendaknya demi untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Kenyataan ini sebagai gambaran bahwa pemerintahan tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan hokum yang berlaku, tetapi berdasarkan atas kekuasaan

Adapun ketentuan hokum mengenai Agraria pada masa orde baru masih menggunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA).
Dalam pelaksanaannya pemerintah banyak mengeluarkan peraturan yang parsial, seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975, yang mengatur tata cara pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan dan dalam rangka kepentingan umum.
Inpres Nomor 9 Tahun 1973, yang berisi pedoman dan jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum.
Ketentuan ini dapat dipandang sebagai jalan pintas yang diambil pemerintah untuk memudahkan pengambilalihan tanah dari rakyat.

UUPA yang berkarakter responsif, tetapi pemerintah orde baru menginterpretasikannya dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan secara parsial untuk keperluan pragmatis dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan, sehingga memperlihatkan watak yang konservatif.
Demikian juga halnya dengan Kepres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, meskipun membawa sedikit kemajuan, namun bentuk peraturannya tetap tidak proporsional. Materinya yang prinsip seharusnya menjadi materi undang-undang, yang sebenarnya tidak dapat dibuat sepihak oleh eksekutif.

Pemerintahan Orde Baru terlihat lebih mementingkan kelompok atau golongan tertentu tanpa memperhatikan nasib rakyat. Sehingga undang-undang yang responsive dibuat menjadi konservatif sebagaimana halnya UUPA tersebut.
Dengan demikian dalam pelaksanaannya sering terjadi permasalahan-permasalahan dan pertikaian-pertikaian, terutama dalam masalah pembebasan tanah yang nyata-nyata tidak proporsional dan merugikan rakyat.
PERIODE REFORMASI (DEMOKRATIS)
1999-2002
Partai politik tumbuh dan berkembang  banyaknya partai politik ikut pemilu tahun 1999
Penyelenggara pemilu dilakukan oleh lembaga independen (terdiri dari berbagai partai politik)
Kekuatan politik tidak ada mayoritas mutlak
Pengangkatan presiden dn wakil presiden dibangun melalui kekuatan koalisi.
Terjadi impecmen terhadap preisden Wahid
Kepala daerah mudah di Inpec oleh parlemen Daerah
Melalui UU No. 40 Tahun 1990, kehidupan Pers bebas, tidak ada pemberedelan, tanpa SIUPP

PH.
Yang mendasar: dilakukannya amandemen UUD 1945 (37 Pasal menjadi 199 Pasal (item)
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi luas kepada Daerah
UU Parpol memberikan peluang banyak partai.
UU Pemilu sistem Proposional terbuka
Adanya lembaga pemanau pemilu
Dilakukan perubahan2an tentang ketentuan pertanahan dibawah undang-undang
Semakin diperkuat hak adat
UU No. 49 Tahun 1999 tetap dipertahankan

2003-sekarang
Kehidupan partai semakin berkembang.
Pemilu dilakukan oleh lembaga independen (KPU)
Parlemen juga tidak dikuasai oleh mayoritas mutlak
Adanya Pemilihan langsung Presiden dan wakil presiden
Di Parlemen Presiden didukung oleh partai minoritas

PH
UU kepataian semakin membuka peluang untuk membetuk partai sebanyak mungkin.(43 parpol)
UU Pemilu semakin demokratis adanya BPP, suara terbanyak terbatas.
Masyarakat dapat menggugat UU (UU pemilu menjadi suara terbanyak sederhana)
UU Pers dipertahankan

Tidak ada komentar: