Minggu, 10 Mei 2009

Hukum Pemerintah Daerah

OTONOMI DAERAH SEJAK TAHUN 1945-sekarang
Makalah
Oleh : Aria Herjon

A. Pendahuluan

Pembicaraan tentang otonomi daerah sudah dimulai jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, rakyat di berbagai daerah telah mengharapkan sesuatu yang konkret dari kemerdekaan. Yakni suatu tatanan sosial yang adil, yang bebas dari penindasan, diskriminasi, dan penjajahan. Tetapi setelah pola tersebut ditetapkan, ada keinginan awal yang tidak terpenuhi karena berbagai daerah merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat. Akibatnya, terciptanya rasa tidak puas daerah terhadap pemerintah pusat karena kehidupan yang demokratis tidak tercipta sebagaimana mestinya.
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintahan daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat .
Sesungguhnya logika demokrasi dari pemberian otonomi dari pusat kepada daerah: (1) memberikan kerangka untuk memperluas partisipasi politk rakyat daerah, yang memungkinkan rakyat daerah memiliki akses yang lebih efektif kepada pemerintah, dan (2) memberikan jaminan kebebasan bergerak bagi elemen-elemen daerah, baik formal maupun informal, untuk mendayagunakan sumber-sumber yang ada di daerahnya dalam rangka memenuhi kepentingan regional dan negara yang seluas-luasnya.
Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government) sedangkan pemerintah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda hanya dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.
Secara normatif, pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam sistem pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi, sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan, yang secara khusus, persoalan daerah dilimpahkan kepada pemerintahan di daerah.
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara “pemerintah pusat” disatu pihak, dan “pemerintahan daerah” di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut sistem negara kesatuan.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pelaksanaan otonomi daerah keberadaannya melekat pada sistem pemerintah daerah maka sejak Indonesia Merdeka telah berlaku 7 (tujuah) Undang-undang tentang Pemerintah Daerah dan 1 (satu) Peraturan Presiden tentang pemerintah daerah, yang dalam perkembangannya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Adapun Undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut adalah: (1) Undang-undang No. 1 tahun 1945, (2) UU No. 22 tahun 1948, (3) UU No. 1 tahun 1957, (4) Penetapan Presiden No.6 tahun 1959, (5) UU No. 18 tahun 1965, (6) UU No. 5 tahun 1974, (7) UU No. 22 tahun 1999, dan (8) UU No 32 Tahun 2004.
Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam makalah ini penulis akan menguraikan bagaimana proses dan realitanya perkembangan otonomi daerah sejak tahun 1945 sampai tahun 2005”
B. Tinjauan Pustaka.
1. Sistem Pemerintahan Daerah
Didalam suatu negara, kekuasaan pemerintahan dibagi-bagi dalam unit-unit kekuasaan baik yang bersifat horisontal seperti lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara maupun yang bersifat vertikal berdasarkan teritorial yaitu adanya pemerintahan daerah sebagai bentuk pelaksanaan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
Desentralisai adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (nasional) kepada pemerintah lokal/daerah dan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya dikenal sebagai otonomi daerah. Dengan pemahaman ini, otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi . Sebagai sautu prinsip yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan modern, desentralisasi menjanjikan banyak hal bagi kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di tingkat lokal/ daerah. Dengan demikian akan dapat berkembang suatu cara pengelolaan kewenangan dan sumber daya untuk dapat memberikan kemudahan bagi pelaksanaan aktivitas yang berlingkup nasional dan juga secara bersamaan akan secara nyata mengakomodasikan aspirasi pada tingkat lokal/daerah.
Menurut telaah konseptual, desentralisasi pada umumnya dapat dilihat dari dua sisi/bersisi ganda yaitu : meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah Pusat (Nasional) dan mengaktualisasikan representrasi lokalitas. Menurut pendapat Smith (1985) yang dikutip oleh Muchlis Hamdi (2001) yang pertama disebut dekonsentrasi dan yang kedua disebut devolusi yang di Indonesia lebih dikenal sebagai desentralisasi .
Dari kedua aspek desentralisasi tersebut terlihat secara nyata adanya kehendak untuk memuat jarak yang lebih dekat pemerintahan kepada masyarakat sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dalam hubungan ini maka pemerintah daerah akan memiliki tingkat akuntabilitas dan daya tanggap yang tinggi dalam menyikapi perkembangan masyarakat. Pemerintah Daerah juga dapat memberikan pelayanan pemerintahan dalam substansinya.
Pemerintah daerah merupakan tempat kaderisasi yang dapat membentuk pula calon-calon pemimpin nasional. Dengan demikian desentralisasi akan menuju kepada terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dan partisipatif, meningkatkan daya tanggap dan akuntabilitas para pemimpin daerah, serta adanya kesesuaian yang lebih nyata dalam berbagai jenis pelayanan dari segi jumlah, mutu dan konposisi pelayanan pemerintahan dengan kebutuhan masyarakatnya. Ini berarti bahwa desentralisasi pada dasarnya akan berfokus pada persoalan pelaksanaan dan pengembangan otonomi daerah, sampai seberapa jauh suatu pemerintah dan masyarakat daerah dapat memenuhi aspirasi mereka berdasarkan prakarsa dan kegiatan pengelolaan oleh mereka sendiri.
Otonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani : Autos dan Nomos. Autos berarti sendiri dan nomos berarti aturan. Otonomi bermakna kebebasan dan kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri . Dengan pengertian bahwa desentralisasi merupakan upaya mengelola suatu kondisi daerah yang bervariasi baik dalam lingkup maupun dalam derajatnya, maka penyelenggaraan desentralisasi dilakukan diatas berbagai prinsip .
Prinsip pertama adalah prinsip pendemokrasian, melalui desentralisasi akan dapat dibangun suatu kehidupan pemerintahan yang demokratis, begitu juga penyelenggaraan desentralisasi hanya dapat berlangsung dimulai dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis.
Prinsip kedua adalah prinsip keaneragaman sebagai pengakuan adanya keadaan daerah yang berbeda dan dengan desentralisasi dapat dikelola dengan respontif, efisien dan efektif.
Prinsip ketiga berkenaan dengan pelaksanaan prinsip subsidiaritas, melalui desentralisasi diharapkan akan terwujud kesempatan pemerintah dan masyarakat di daerah untuk mengambil prakarsa dalam membuat kebijakan dan program sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan potensi yang mereka miliki.
2. Pembentukan Pemerintah Daerah
Sesuai dengan uaraian tentang sistem pemerintahan daerah tersebut diatas, maka untuk dapat terwujudnya otonomi daerah masih perlu dipersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan implementasinya, seperti adanya kemampuan daerah serta kesanggupan daerah untuk pelaksanaan tugas yang memadai untuk meraih setiap peluang yang terbuka didaerahnya agar dapat mengisi secara terus menerus dinamika otonomi daerah dimaksud. Sebagai konsekuensi logis adalah perlunya dilakukan penataan terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah.
Secara teoritis ada enam elemen utama yang membentuk pemerintah daerah yaitu :
a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
b. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah.
c. Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan.
d. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.
e. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyeleng-garaan pemerintahan daerah.
f. Adanya manajemen urusan otonomis yaitu penyelenggaraan otonomi daerah agar dapat berjalan secara efisien, ekonomis dan akuntabel.
Keenam elemen diatas secara integrated merupakan suatu sistem yang membentuk pemerintahan daerah. Penataan pemerintahan daerah akan selalu berkaitan dengan penataan keenam elemen secara terpadu dan menyeluruh, karena bila dilakukan secara terpisah-pisah akan menghasilkan outcome yang kurang optimal, sebagaimana sering terjadi selama ini.
Tujuan utama dari penataan tersebut adalah bagaimana dengan penataan kewenangan (urusan otonomi), kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan dan manajemen urusan otonomi tersebut akan dapat memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel. Hal ini sejalan dengan alur pikir akademis yang berkembang secara universal bahwa pemerintah daerah dengan otonominya diarahkan untuk mencapai dua tujuan utama yaitu tujuan politis dan tujuan administratif
Dalam hal tujuan politis, pemerintah daerah akan berada pada posisi sebagai instrumen pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan berbangsa dan bernegara. Pemberian otonomi dan pembentukan institusi pemerintah daerah akan mencegah terjadinya sentralisasi dan mencegah terjadinya bentuk pemisahan diri. Adanya institusi pemerintah daerah akan mengajarkan kepada masyarakat untuk menciptakan kesadaran membayar pajak dan sebaliknya juga memposisikan pemerintah daerah untuk mempertanggung-jawabkan pemakaian pajak rakyat tersebut. Sedangkan tujuan administratif adalah mengisyaratkan pemerintah daerah untuk mencapai efisiensi, efektivitas dan ekonomis dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Kombinasi dari kedua tujuan pemerintah daerah yang bersifat universal tersebut telah melahirkan suatu gagasan bahwa dalam mewujudkan tugas pokok harus mampu bertindak ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel. Secara operasional berbagai makna terkandung dalam pengertian konsep tersebut, yaitu :
a. Ekonomis, berarti pemerintah daerah harus mampu menjalankan berbagai alternatif yang terbaik dari sudut total pembiayaan, dengan tujuan menghilangkan adanya kesan pemborosan dalam menjalankan pemerintahan daerah baik dalam kegiatan ruin maupun pembangunan dari setiap urusan, selalu bersifat kompetitif dalam upaya memberikan nilai tertinggi bagi setiap rupiah uang rakyat yang dipercayakan.
b. Efektif, bermakna tercapainya sasaran yang direncanakan sesuai standar efektivitas yang diinginkan berdasarkan aspirasi masyarakat.
c. Efisien, bermakna bahwa output tercapai dengan input yang minimal, adanya penghematan sumber daya dibidang personil/pegawai, uang, peralatan dan prosedur/tata kerja dalam menjalankan tugas pokoknya.
d. Akuntabel, mengandung makna bahwa pemerintah daerah mengutama-kan kepentingan warganya dengan jalan mempertanggung jawabkan pelaksanaan otonominya kepada masyarakat melalui wakil-wakil rakyat dlaam yurisdiksinya.
3. Model-model Otonomi Daerah
a. Model sejajar dengan otonomi penuh
Model ini dianut oleh Inggris. Pemerintah daerah di Inggris tidak mengenal tingkatan. Pemerintah daerah terdiri atas county dan district. Baik county maupun district masing-masing merupakan daerah otonom yang tidak ada hubungan hirarki satu sama lain : district bukan bawahan county atau sebaliknya. County dan district mempunyai kedudukan yang sejajar. Hubungan antara keduanya adalah hubungan koordinatif yang saling menguntungkan. Urusan yang diselenggarakan adalah urusan-urusan yang ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari segi luas wilayahnya district lebih kecil daripada county. Sedangkan dilihat dari wewenangnya district lebih spesifik daripada county.
b. Model dua tingkat dengan otonomi penuh pada unit dasar
Model ini dianut oleh Belanda, Maroko dan Jepang. Pemerintah daerah negara-negara tersebut masing-masing memiliki unit dasar yaitu Gemeente, Badan Administrasi Kota, dan kota adalah bawahan provinsi. Semua satuan pemerintahan unit dasar memiliki otonomi yang relatif luas, sedangkan satuan pemerintahan perantara, provinsi memiliki otonomi terbatas.
c. Model dua tingkat dengan otonomi terbatas pada unit dasar dan unit perantara
Model ini dianut oleh Perancis. Satuan pemerintahan dasar Perancis adalah Commune. Sedangkan unit perantaranya adalah Canton, Arrondisement, Departemen, dan Region. Commune dan Departemens adalah daerah otonom sekaligus wilayah administrasi (berasas desentralisasi dan dekonsentrasi). Sedangkan Canton, Arrondisement, dan Region adalah wilayah administrasi (berasas dekonsentrasi).
Dengan ditentukannya Commune dan Departemens sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi, maka otonomi di dua tingkat daerah otonomi tersebut terbatas. Karena statusnya disamping sebagai daerah otonom juga sebagai cabang dari pemerintah pusat (sebagai wilayah administrasi).
d. Model tiga tingkat dengan otonomi penuh pada semua tingkat
Model ini dianut oleh Malaysia. Malaysia adalah negara federal. Oleh karena itu, negara Malaysia terdiri atas negara-negara bagian. Masing-masing negara bagian adalah daerah otonom penuh. Kemudian di dalam negara bagian terdapat pemerintahan daerah yang terdiri atas kota dan distrik. Pada kota dan distrik memiliki otonomi penuh.
Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah modern yang dimulai sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah mempraktikan administrasi pemerintahan daerah cukup bervariasi. Untuk pertama kali pemerintahan daerah diperkenalkan oleh penjajah Belanda melalui Undang-Undang Desentralisasi 1903 (Decentralisatie Wet 1903, Staadblad 1903 Nomor 329). Berdasarkan undang-undang tersebut di Jawa dan Madura dibentuk daerah otonom: provinsi (gewest), kabupaten (regenschap), dan kotapraja (staadgemente). Pada setiap daerah otonom dibentuk dewan perwakilan.
C. Pembahasan.
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :
1. Otonomo daerah dibawah UU No. 1 Tahun 1945.
Dibawah UU No. 1 Tahun 1945 yang disebut dengan UU Komite Nasional Daerah, terdapat dua jenis pemerintahan di daerah, yaitu pemerintahan di daerah yang memiliki KNID dan tanpa KNID. Pemerintahan Daerah yang mempunyai KNID adalah pemerintahan daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangga daerah (keresidenan, Pemerintahan Kota, Kabupaten dan daerah lainnya yang dianggap perlu oleh menteri Dalam negeri), pemerintahan di daerah lainnya seperti Propinsi, (Kecuali propinsi Sumatera), kewedanaan, kecamatan, adalah daerah administratif belaka .
Kepala daerah dibawah UU No. 1 Tahun 1945 ini menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. Sistem ini menecerminkan kehendak kehendak pemerintah untu menerapkan prinsip desentralisasi daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figur kepala daerah. Status kepala daerah adalah diangkat dan berasal dari Keanggotaan Komite. Walaupun terdapat komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh pemerintah dan bukan dipilih
Dengan demikian Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. Hal ini dapat dimaklumi karena masa ini adalah masa awal kemerdekaan, dimana pemerintah secara keseluruhan masih lemah dan tahap konsolidasi, kepala daerah ikut berupaya mengkonsolidasikan seluruh keuatan di daerah untuk mempertahankan kemerdekaan.
2. Otonomi daerah dibawah UU No. 22 Tahun 1948
Dibawah UU No;. 22 Tahun 1948 , urusan-urusan yang diberikan kepada pemerintah daerah tanap melihat tingkatannnya, dimana kota kecil sebagai pemerintah daerah tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan epmerintah daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi mengenyampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah. Keinginan memberikan otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas .
Dengan demikian UU No. 22 Tahun 1948 baru mengaisyaratkan adanya keinginan untuk memberikan ptrinsip desentralisasi, tetapi keinginan tersebut belum terlaksana karena sesuai dengan hasil Konfersnsi Meja Bundar pada 27 Desember 1949 menjadi negara Rpublik Indonesia Serikat , yang mana sistem pemerintahan RI waktu itu berdasarkan sistem Parlementer, pemberian otonomi yang tinggi akan cenderung memicu gerakan separatisme dalam kondisi politik yang tidak stabil .
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dibawah UU Noil. 22 Tahun 1948 Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. Kebijakan otonomi daerah tersebut pun tidak terlaksana karena kondisi politik yang tidak stabil waktu itu.
3. Otonomi Daerah di bawah UU No. 1 Tahun 1957
Dibawah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dikeluarkanlah UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah aderah. Sistem pemerintahan daerah. UU ini adalah produk dari sistem parlemen Liberal hasil pemilihan umum pertama tahun 1955. Parati-partai politik di parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih demokratis dengan penkanan lebih jauh kearah desentralisasi.
Meskipun dorongan yang sangat kuta untuk meluaskan otonomi daerah, pada kenaytaannya kewenangan yang dilimpakhkan kepada pemerintah daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah, sampai dengan tahun 1958 hanya 7 urusan yang sebanarnya diserahkan kepada propinsi. Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah dan prosedur tersebut memakan waktu yang snagat lama .
Dengan demikian Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
4. Otonomi Daerah dibawah Pepres No. 16 Thuan 1950
Tanggal 16 Nopember 1950, pemerintah mengeleuarkan Pepres No. 6 tahun 1959 untuk menegatur pemerintahan daerah agar sejalan dengan UUD 1945, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959. dalam Pepres tersebut diatur bahwa pemerintahan daerah terdiri adri kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil pusat di daerah. Kepala daerah juga bertindak selaku ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah ia bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD, sedangkan wakil pusat dia bertanggungjawab kepada pemerintah pusat .
Pepres No. 6 tahun 1959 menadai beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah kearah dekonsentrasi. Berdasrakan Tap MPRS No. II/MPRS/1960 telah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah ayng ditindaklanjuti dengan penetapan Pemerintah No. 50 tahun 1963 tentang peneyerahan urusan-urusan ousat yang sebelumnya dijalankan oleh pamong Praja kepada pemerintah daerah.
Urusan-urusan yang dijalankan oleh presidern diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-urusan yang dijalankan oleh wedana diserahkan kepada Bupati atau walikota, sedangkan posisi Asistem Wedana atau Camat tetap dipertahankan.
Dengan demikian kebijakan otonomi daerah pada masa ini lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5. Otonomi daerah Dibawah UU 18 tahun 1965
Pada dekade tahun 1960-an timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi istem pemerintahan daerah agar sejalan dengan semangat demokrasi terpimpin dan nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Soekarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu, yaitu kelompok partai nasionalis, agama dan komunis . Dengan keluarnya UU No. 18 tahun 1965 ini merupakan fenomena terjadinya arus balik dari dekonsentrasi ke desentralisasi. Kepala daerah tetap memegang peran utama ganda uaoti sebagai pimpinan daerah dan wakil pusat di daerah.
Meskipun UU ini menganut prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi, namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi ”label: vital .
Menurut UU No. 18 tahun 1965 ini secara struktural terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah yang otonom yaiitu, propinsi, kabupaten atau kotamadya dan kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya yang hampir serupa dengan otonomi dalam UU No. 1 tahun 1957 , akan tetapi keseluruhan ayng diseleanggarakan oleh daerah otonomi pada adsarnya bersumber dari penyerahan urusan adri pusat. Jadi, inisiatif daerah dalam mengurus urusan-urusan tertentu di daerahnya dan disetujui oleh daerah dalam mengurus urusan-urusan tertentu hampir dapat dikatakan tidak ada . Hal ini disebabkan karena ; (1) otonomi merupakan suatu yang baru bagi rakyat Indonesia, (2) kurangnya tenaga terampil dalam penylenggaraan otonomi, dan (3) keuangan daerah tetap tergantung kepada pusat.
6. Otonomi Daerah dibawah UU No. 5 Tahun 1974
Keinginan untuk tetap melaksanakan sistem desentralisasi terus berkembang sambil berusaha mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi. UU 5 Tahun 1974 lebih memperjelas sistem dan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Daerah di Indonesia dibedakan menjadi Daerah Otonom dan Wilayah Administratif. Yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah Daerah Otonom. Sedangkan Daerah yang termasuk pada Wilayah Administratif hanya berhak menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah saja. Sehingga dengan demikian sistem desentralisasi pemerintahan hanya diberikan pada Daerah Otonom.
UU 5 tahun 1974 memperkenalkan sistem pemerintahan daerah otonomi bertingkat dengan titik berat Otonomi Daerah diletakan pada Daerah Tingkat II. Daerah Tingkat I adalah menjadi atasan Derah Tingkat II dan selanjutnya. Pusat adalah menjadi atasan Daerah Tingkat I. Penyerahan urusan (desentralisasi) yang menjadi tanggung jawab daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Urusan yang telah diserahkan dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat.
Terlambatnya penyerahan urusan oleh Pusat pada Daerah Otonom merupakan masalah utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Keterlambatan ini dipengaruhi pula oleh kesulitan penentuan urusan yang akan diserahkan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut dan atas desakan dari berbagai daerah dibentuklah undang-undang tentang sistem pemerintahan daerah yang lebih komprehensif yang dikenal dengan UU 22 Tahun 1999 yang mulai berlaku tahun 2001. Seiring dengan undang-undang ini, diterbitkan pula UU 25 tahun 1999 yang mengatur hubungan keuangan Pusat-Daerah.
Dengan diterbitkannya kedua undang-undang ini berarti pelaksanaan sistem desentralisasi semakin jelas, baik ditinjau dari sisi administrasi pemerintahan maupun dilihat dari segi pembiayaan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. UU 22 tahun 1999 tidak mengenal penjenjangan daerah dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan. Propinsi yang sebelumnya dikenal sebagai Daerah Tingkat I yang menjadi atasan Daerah Tingkat II, tidak lagi mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Sedangkan daerah Tingkat II dihapus dan diganti dengan sebutan daerah Kabupaten dan daerah Kota. Masing-masing daerah, baik Propinsi, Kabupaten ataupun Kota berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai kewenangan menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan desentrasilasi berdasarkan UU 5/1974 adalah secara bertahap. Mengukur kesiapan daerah yang dijadikan sebagai dasar penyerahan urusan telah menjadi kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pusat menganggap Daerah belum siap untuk menerima urusan tertentu. Sedangkan pada pihak lain, Daerah menganggap dia telah siap dan Pusat enggan menyerahkan urusan yang sebenarnya sudah dapat dilaksanakannya.
Keadaan ini memperbesar konflik antara Pusat dan Daerah. Akibatnya adalah memperlambat pelaksanaan undang-undang tersebut. Percontohan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU 5 Tahun 1974 baru dimulai tahun 1995. Kabupaten Tanah Datar dijadikan sebagai pilot proyek untuk Sumatera Barat dan hasilnya tidak memuaskan, sebagai akibat dari kesulitan penentuan urusan yang diperlukan oleh Daerah yang bersangkutan (lihat. Syahruddin 1999).
7. Otonomi Daerah dibawah UU No. 22 tahun 1999
UU 22 Tahun 1999 yang mulai dilakukan tahun 2001 menganut konsep pembagian kewenangan. Penyerahan (pemberian) kewenangan kepada Daerah Otonomi dilakukan secara umum. Yang dijelaskan secara rinci adalah kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Sedangkan kewenangan Kabupaten/Kota yang diberikan otonomi luas dalam undang-undang ini adalah semua kewenangan dalam bidang pemerintahan diluar kewenangan Pemerintah dan Propinsi. Untuk tidak memberikan dampak negatif pada pelaksanaan pemerintahan di daerah, undang-undang menetapkan sejumlah kewenangan wajib yang akan dilaksanakan oleh Daerah Otonom.
Ada 11 (sebelas) bidang pemerintahan wajib yang harus dilaksanakan oleh Daerah Otonom yaitu: (1) pekerjaan umum, (2) kesehatan, (3) pendidikan dan kebudayaan, (4) pertanian, (5) perhubungan, (6) industri dan perdagangan, (7) penanaman modal, (8) lingkungan hidup, (9) pertanahan, (10) koperasi dan (11) tenaga kerja. Pemerintah Daerah dapat merinci bidang pemerintahan wajib tersebut menjadi kewenangan daerah sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah untuk pembiayaannya serta sumber daya manusia yang tersedia.
Daerah diperkirakan tidak akan mengalami kesulitan yang berarti baik untuk menentukan kewenangan maupun untuk pelaksanaan keseluruhan bidang pemerintahan tersebut. Kesimpulan ini didasarkan pada pengalaman Daerah dalam pelaksanaan pemerintahan selama ini. Kebanyakan dari bidang pemerintahan tersebut telah pernah dilaksanakan di Daerah.
Disamping perbedaan metode penyerahan kewenangan oleh Pusat kepada Daerah Otonom, terdapat pula dua bentuk perbedaan yang sangat berarti antara UU 22 Tahun 1999 dengan UU 5 Tahun 1974. Pertama, UU 22 Tahun 1999 tidak mengenal lagi adanya hierarki dalam bidang pemerintahan. Istilah Dati I untuk Propinsi dan Dati II untuk Kabupaten/Kotamadya tidak ada lagi. Untuk daerah otonomi luas digunakan istilah Kabupaten dan Kota yang tidak merupakan bawahan langsung dari Propinsi. Kedua daerah ini mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan yang berbeda satu sama lainnya. Kewenangan Propinsi disamping yang diatur dalam PP 25 Tahun 2000 adalah kewenangan yang bersifat lintas kabupaten-kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Ps. 9 UU 22 Tahun 1999) Hapusnya dualisme dalam sistem pemerintahan didaerah merupakan kemajuan yang cukup berarti dalam sistem ketatanegaraan dengan diberlakukannya UU 22 Tahun 1999. Di daerah tidak ada lagi instansi vertikal seperti yang dianut dalam UU 5/1974, kecuali untuk lima bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yaitu : (1) politik luar negeri, (2) pertahanan keamanan, (3) peradilan, (4) moneter dan fiskal dan (5) agama. Namun dengan keluarnya Keputusan Presiden 109/2000 tentang pengembalian kewenangan daerah dalam bidang pertahanan kepada pemerintah menunjukan tidak konsistennya Pemerintah dalam pelaksanaan UU 22 Tahun 1999.
8. Otonomi dibawah UU No. 32 Tahun 2004
UU No. 32 Tahun 2004 adalah merupakan UU pengganti UU No. 22 Tahun 1999 yang kedua sama-sama menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah provinsi. Sedangkan daerah kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi. Konsekuensi strukturalnya, daerah provinsi menjadi wilayah administrasi sekaligus daerah otonom sedangkan daerah kabupaten/kota menjadi daerah otonom penuh. Menurut UU No. 22 tahun 1999 kewenangan daerah provinsi hanya memiliki kewenangan yang terbatas sedangkan daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas.
Menurut UU No. 32/2004 tidak lagi menggunakan istilah kewenangan tapi urusan pemerintahan. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang tidak secara spesifik menentukan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi secara jelas sama dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Hal yang membedakan hanya lingkupnya saja. Adapun urusan pemerintahan tersebut adalah
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan,
b. Perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan tata ruang,
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum,
e. Penanganan bidang kesehatan,
f. Penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial,
g. Penanggulangan masalah sosial,
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan,
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah,
j. Pengendalian lingkungan hidup,
k. Pelayanan pertanahan,
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil,
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan,
n. Pelayanan administrasi penanaman modal,
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya,
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
D. Kesimpulan
Sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2005 proses dan realitas otonomi daerah dapat dilihat melalui undang-undang tentang pemerintahan daerah yang telah dilahirkan. UU No. 1 tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, menganut model tiga tingkat dengan otonomi luas pada unit dasar
Sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut Model dua tingkat dengan otonomi sangat terbatas, yang mana UU No. 5 Tahun 1974 menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi pada semua tingkat : Daerah tingkat I (daerah otonom) sekaligus sebagai wilayah provinsi (wilayah administrasi) dan daerah tingkat II (daerah otonom) sekaligus sebagai wilayah kabupaten/kotamadya (wilayah administrasi).
Model semi dua tingkat dengan otonomi luas pada unit dasar dianut oleh oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 mengatur bahwa daerah yang menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah provinsi. Sedangkan daerah kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) FH-UII, Yogyakarya, 2001
Bambang Yudoyono, makalah Telaah Kritis Implementasi UU No. 22/1999: Upaya Mencegah Disintegrasi Bangsa, disampaikan pada seminar dalam rangka Kongres ISMAHI di Bengkulu 22 Mei 2000
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, halaman 42
I Made Suwandi, Format Otonomi Daerah Propinsi dan Kabupaten atau Kota Berdasarkan UU 22 Tahun 1999 dan UU 25 Tahun 1999, Jakarta, 2000, hm 21
I. Widarta, Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Jakarta, 2001,
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Penerbit. PT. Alumni Bandung, 2004
Muchlis Hamdi, Filosofi Otonomi Daerah, Makalah, Jakarta, 2001)
Oentoro, I Made Suwandi, Dodi Riyadmadji, Menggagas Format Otonomi daerah Masa Depan, Sumitra Media Utama, Jakarta, 2004. hlm. 76
Pardjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Nomor 25 Tahun 1999, Makalah, Makalah Falsafah Sains (PPs 702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, February 2002,
Ranny Emilia, dalam makalah Suatu Kajian Otonomi Daerah Menuju Optimalisasi Sumber Daya, Guna Mencapai Masyarakat Adil dan Makmur, disampaikan pada simposium nasional dan dialog mahasiswa se-Sumatera barat di Padang, 29-31 Oktober 1998
S.H Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan I, Juli 1999
Soetidjo, “Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.PT. Rineka Cipta, Jakarta 1990
Suharizal, Reformulasi Hubungan Pusat dan Daerah, Harian Mimbar Minang, 23 Februari 2001

Tidak ada komentar: